Hikmah : Memaknai Isra Miraj.

Bulan Rojab adalah bulan yang di dalamnya terdapat sebuah peristiwa maha penting dalam catatan sejarah peradaban umat manusia, yakni peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad SAW lebih dari 14 abad yang silam. Isra’ Mi’raj merupakan sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, di mana nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya akan tetap aktual dan abadi sepanjang masa. Oleh karenanya, adalah hal yang wajar jika kemudian setiap memasuki bulan Rajab, Isra’ Mi’raj selalu diperingati oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia, dan dijadikan momentum untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai luhur di dalamnya. 
Sedikitnya ada 4 (empat) nilai fundamental yang sangat penting untuk kita maknai dari peristiwa Isra’ Mi’raj:

Pertama, peristiwa Isra’ yang berarti perjalanan Nabi Muhammad SAW di malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Peristiwa ini memberikan isyaroh kepada kita, bahwa manusia di dalam hidupnya perlu membangun hubungan dan komunikasiI horizontal yakni komunikasi sosial. Dalam perjalanan Nabi Muhammad SAW yang bersifat horizontal ini, dilambangkan sebuah perjalanan dari bumi yang satu ke bumi lain, yang disimbolkan dari satu masjid ke masjid lain, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Maka, masjid yang merupakan “simbol” pusat kegiatan keagamaan umat Islam, harus pula ditransformasikan nilai-nilainya di tengah kehidupan sosial secara nyata. Umat Islam harus mampu membangun relasi sosial (hablun minan-nas) yang rukun dan harmonis di tengah-tengah kehidupannnya. Karena Nabi Muhammad sendiri dalam salah satu sabdanya menyatakan : al-dînu mu’amalah (bahwa agama, salah satu inti ajarannya adalah bagaimana seseorang harus berinteraksi atau berhubungan baik dengan sesamanya).

Dengan kata lain, kualitas keislaman seseorang tidak cukup hanya diukur ketika ia berada di dalam masjid. Akan tetapi, bagaimana nilai-nilai ibadah dan kekhusyukan yang telah dilakukannya di dalam masjid itu diwujudkan pula di luar masjid, yakni ketika berada di lingkungan kerja maupun di tengah-tengah masyarakatnya, melalui jalinan interaksi, silaturohmi, dan komunikasi yang baik dengan sesama. Inilah yang disebut dengan “kesolehan sosial”. Sebab, tidak jarang sewaktu berada di dalam masjid seseorang tampak khusyuk beribadah, namun begitu keluar masjid, nilai-nilai kekhusyukan ibadahnya itu ia tanggalkan. Akibatnya, di tempat kerja maupun di lingkungan masyarakatnya ia masih kerap melakukan prilaku-prilaku yang justru bertentangan dengan nilai-nilai ibadah yang telah dilakukannya. Model beragama seperti itu jelas merupakan wujud keberagamaan yang semu. Karena salah satu wujud keberagamaan yang hakiki, harus ditandai dengan kemampuan seseorang menjalin komunikasi dan interaksi yang baik dengan sesamanya, sesuai dengan nilai-nilai akhlak luhur yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ini sekaligus menegaskan bahwa seseorang baru bisa dianggap beramal sholih manakala ia tidak hanya mementingkan kesholihan pribadinya semata terkait hubungannya dengan Tuhannya, tetapi juga seorang muslim harus melakukan kebaikan-kebaikan di dalam interaksinya dengan orang lain dan lingkungannya. 

Kedua, peristiwa Mi’raj, di mana Nabi SAW dari Masjidil Aqsha kemudian naik ke puncak tertinggi jagat semesta,  yakni ke Sidratil Muntaha, berjumpa dengan Allah SWT. Imam Bukhari mengisahkan perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam Shahih Bukhari, Juz 5 halaman 52 dalam Intisarinya adalah : Suatu ketika Nabi berada di dalam suatu kamar dalam keadaan tidur, kemudian datang malaikat mengoperasi Nabi dan  membersihkan serta  mensucikan Nabi dari penyaki-penyakit hati dan memenuhinya  dengan iman dan tauhid. 

Setelah itu Nabi melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj dengan mengendarai Buroq dengan diantar oleh malaikat Jibril hingga langit dunia, kemudian terdapat dialog antara jibril dengan makluk Allah yang bernama langit yang selalu menanti-nanti kapan makhluk yang paling mulia ini berkenan menginjakkan kakinya di langit. “Siapa ini ? Tanya langit” Jibril menjawab: “ Aku Jibril.” “Siapa yang bersamamu ?” Jibril menjawab, “Muhammad Rosululloh”. “Selamat datang, sungguh sebaik-baiknya orang yang berkunjung adalah engkau, wahai Muhammad.” 

Di langit dunia ini, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Adam ‘alaihissalam, Jibril menunjukkan bahwa Nabi Adam adalah bapak dari para nabi. Jibril memohon kepada Nabi Muhammad untuk mengucapkan salam kepada Nabi Adam, Nabi Muhammad lalu mengucapkan salam kepada Nabi Adam, sebaliknya Nabi  Adam pun juga membalas salam kepada Nabi Muhammad. Perjalanan dilanjutkan menuju : langit kedua, di sini Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Yahya dan Nabi Isa, di langit ketiga, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, di langit keempat, Nabi bertemu dengan Nabi Idris, di langit kelima Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Harun ‘alaihissalam, di langit keenam, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Musa, Nabi Musa menangis karena Nabi Muhammad memiliki umat yang paling banyak masuk surga, melampaui dari umat Nabi Musa sendiri, Dan terakhir di langit ketujuh, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Perjalanan spiritual ini memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya harus melakukan upaya “transedensi”, yakni mendekatkan diri kepada Allah SWT, agar terhindar dari jebakan-jebakan materi-duniawi yang seringkali membuat manusia kalap dan lupa diri. 

Sebagai makhluk yang disebut homo religius, manusia harus mampu membangun relasi atau hubungan yang harmonis dengan Tuhan-nya. Dengan begitu, maka sifat-sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Pengasih dan Sumber Kebaikan, harus dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran harus terus ditegakkan, untuk melawan segala bentuk penyelewengan. Kita tentunya sangat prihatin dan sedih, ketika kejujuran tidak lagi dianggap penting, falsafah Jawa yang menyatakan “sopo sing jujur bakale mujur” (orang yang jujur akan beruntung). Oleh karena itu, kejujuran-lah yang akan membawa kita pada ketenangan dan kedamaian. Kita mungkin saja bisa membohongi puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang, namun, kita tidak akan bisa membohongi hati nurani kita sendiri, apalagi membohongi Allah SWT.

Ketiga, dalam peristiwa Mi’raj dari Masjidil Aqsha ke Sidratil Muntaha, Nabi Muhammad SAW berjumpa langsung dengan Allah SWT. Ini merupakan puncak pengalaman spiritual sekaligus nikmat yang sangat indah dan tak tertandingi oleh kenikmatan  apapun. Disinilah makin nampak keluhuran dan ke-luarbiasa-an Rasulullah SAW, di mana setelah bertemu dengan Tuhannya, beliau justru masih mau turun lagi ke dunia untuk menyampaikan pesan-pesan Allah demi keselamatan umatnya. Seandainya Nabi SAW adalah orang yang egois dan hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, niscaya beliau enggan untuk turun lagi ke dunia. Itulah cermin bahwa beliau adalah insan kamil (manusia paripurna) yang tidak hanya berpredikat shalih tetapi juga seorang mushlih yakni : berkepribadian baik secara personal & menjadikan orang lain menjadi baik.

Peristiwa ini mengandung pelajaran yang sangat luar biasa  berharganya, bahwa kita tidak boleh terjebak pada kesalehan ritual-spiritual yang bersifat personal semata. Sebab kesalehan yang sejati adalah manakala seseorang bisa membangun relasi yang harmonis dan seimbang, baik antara dirinya dengan Tuhannya (hablun minalloh), antara dirinya dengan sesamanya (hablun minan-nas), maupun antara dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya (hablun ma’al-bi’ah).

Keempat, dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad SAW mendapat perintah yang sangat penting, berupa perintah shalat. Shalat merupakan media interaksi dan komunikasi antara kita dengan Allah SWT, karena itulah bulan Rajab sering disebut sebagai "syahrullah" (bulannya Allah). 
Sedemikian pentingnya shalat, perintah itu diterima langsung oleh Nabi Muhammad SAW tanpa melalui perantara Malaikat Jibril. Jika agama diumpamakan sebagai sebuah bangunan, maka shalat merupakan tiang-tiang penyangga yang akan menopang bangunan itu bisa tetap kokoh berdiri, sebagaimana sabda Nabi : 
اَلصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ , فَـمَنْ أَقَامَـهَا فَـقَدْ أَقَامَ الدِّيْـنِ , وَمَـنْ تَرَكَهَا فَـقَدْ هَـدَمَ الدِّيْـنِ.
Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkan shalat berarti ia menegakkan agama, barang siapa yang meninggalkan shalat berarti ia menghancurkan agama.” 

Namun, hal yang sesungguhnya paling penting adalah bagaimana kita menjiwai dan menerapkan pesan-pesan moral yang terkandung dalam ibadah shalat tersebut. Jangan sampai kita memahami shalat hanya sebatas rutinitas dan “seremonial” belaka, tanpa memahami makna apa-apa di dalamnya. Al-Qur’an mengkritik orang-orang yang melakukan shalat sebagai “pendusta agama” dan dianggap sebagai orang yang celaka, manakala mereka melalaikan atau tidak melaksanakan pesan-pesan moral yang terkandung di dalam shalat yang dilakukannya (sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ma’un: 3-4). 
فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ - ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ - ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ - وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ  
4.  Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5.  (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6.  orang-orang yang berbuat riya, 7.  dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Shalat mengajarkan kita  akan pentingnya disiplin dan menghargai waktu. Maka, salah satu ciri dari kualitas shalat seseorang adalah sejauh mana ia disiplin dan menghargai waktu, yang kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. 

Di dalam shalat juga terkandung pesan ke-tawadlu’-an (rendah hati), sebab betapa di dalam shalat kita rela meletakkan kepala kita, yang merupakan mahkota atau anggota tubuh yang paling mulia, merunduk ke tempat sujud, sejajar dengan kaki kita. Maka kesombongan dan sikap kesewenang-wenangan jelas bukanlah sifat orang yang baik shalatnya. 

Shalat juga mengajarkan kita akan pentingnya menebarkan nilai-nilai kedamaian, keharmonisan, dan persaudaraan. Karena bukankah setiap kali kita mengakhiri shalat, kita selalu mengucapkan salam (assalamu’alaikum warahmatullah) sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Maka indikator lain dari orang yang baik shalatnya adalah ia senantiasa menebarkan rasa kedamaian, persaudaraan, dan kasih sayang di tengah-tengah masyarakatnya. 

Semoga semua dapat mengambil hikmah dan berbagai pelajaran penting dari peristiwa Isra’ Mi’raj serta betul-betul mengaktualisasikannya dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata.

Penulis : H. Nur Kholis, S.Ag., M.Pd
Editor : M